Ada Cokelat Dibibirmu 1


Kentang dan cokelat
  “Kentang…!” Suara teriakan Astrid menghentikan langkah Ina. Kentang? Iya, Astrid lebih suka manggil teman sekelasnya itu dengan panggilan sayang ‘Kentang’. Alasannya, karena body Ina yang bulat dan tingginya 155 cm, memang mirip dengan salah satu jenis sayuran itu. Hihii…
“Nih, cokelat pesanan lu.” Astrid memberikan cokelat pada Ina. Astrid tahu banget kalo Ina penggemar cokelat. Karena setiap hari, Ina pasti makan cokelat. Malah di tas Ina, nggak pernah ketinggalan yang namanya cokelat. Mungkin gara-gara itu kali, ya, body Ina jadi agak subur, alias melebar ke samping, dikitttt! Wakakak….!
“Wah, makasih banget, ya! “ Ina langsung cekatan mengambil cokelat dari tangan sahabatnya itu. “Emang kapan lu pulang?” tanya Ina.
“Kemaren,” jawab Astrid sambil berjalan menelusuri koridor sekolahnya.
“Gimana museu de la xocolata-nya? Cerita, dong?” tanya Ina antusias. Sejak tahu Astrid dan keluarganya mau vacation ke Barcelona, Ina memang sudah wanti-wanti pesan cokelat, plus cerita tentang musium cokelat yang terkenal di negera Spanyol itu. 
“Wah keren banget! Lu pasti suka ngeliatnya. Di musium itu, kita bisa ngeliat cokelat dengan berbagai bentuk. Mulai cokelat dari hasil seni pahat, sampai cokelat panas. Terus kita juga bisa ngeliat butik cokelat. Wah bener-bener keren! Gak salah kalo Spanyol memang dikenal sebagai penghasil cokelat sejak berabad-abad lalu,” cerita Astrid sambil memperlihatkan rekaman di Blackberry-nya.
“Liat, dong!” Ina berusaha melihat suasana yang diabadikan di BB-nya  Astrid.
“Hayo!!! Lagi liat apaan tuh?” Nurlela yang baru nongol, langsung merampas Blackberry Astrid dari belakang, lalu berjalan di depan sambil melihat rekaman yang dibuat sahabatnya itu.
“Imonk!!! Balikin!! Rese banget sih lu, gue belum liat tau!” Ina berusaha merebut BB yang dirampas Nurlela. BUZz! Tapi kok Ina teriak manggil Nurlela dengan sebutan ‘Imonk’, ya?
Di gang mereka, Nurlela memang memiliki panggilan sayang ‘Imonk’ alias ‘Mongkey’. Soalnya Nurlela suka banget makan pisang, kayak monkey. He he he.
“Wah… ok juga lu, Cong, mejeng di depan musium. Jadi lebih cantik.” Nurlela mengomentari rekaman Astrid yang lagi pose di depan musium.
Buzz…! Pasti pengen tahu juga ’kan kenapa Nurlela manggil Astrid dengan sebutan ’Cong’? Astrid memang biasa dipanggil teman-teman gengnya dengan sebutan ‘Cong’ alias ‘Bencong’. Kata mereka, Astrid tuh, mulai dari gaya sampai karakternya serba lebay. Kadang suka sensitive gak jelas, makai barang juga serba lebay. So, bencong, kan? Tapi, yang boleh manggil bencong, cuma girls on the gang doang, loh. Lainnya, no way!
“Apa hubunganya? Emang dasarnya dah cantik kaleee,” jawab Astrid.
“Imonk! Gue juga mau liat, dong! ‘Kan gue duluan yang pinjem.” Ina berhasil ngerebut BB dari tangan Nurlela.
“Woi!!! Jangan pada berebutan! BB gue jatuh awas, ya!” Astrid ngasih warning.
Nurlela yang semula mau merebut kembali, jadi nggak enak juga.
“Iiihh, keren-keren banget, sih? Gue jadi sebel, deh! Kenapa ya, di Indonesia nggak ada musium cokelat? Padahal ‘kan kita penghasil cokelat terbesar ketiga di dunia,” gerutu Ina, yang iri melihat kemewahan musium cokelat dan isinya.
“Ntar kalo gue jadi menteri, gue bikinin deh musium cokelatnya,” ujar Astrid, yang memang bercita-cita jadi pejabat negara.
 “Wah, boleh juga, tuh. Gue dukung, deh,” Ina merespon.
Lalu mereka bertiga berjalan menuju kelas, sambil melihat rekaman yang ada di BB Astrid.


*****

Kevin… I’m come in!                     

Suasana kelas cukup ramai, karena sebentar lagi bel masuk kelas bakal berbunyi. Astrid, Ina, dan Nurlela memasuki kelas. Astrid meletakkan tas di mejanya. Ina juga menaruh tas di meja dan duduk di sebelah Astrid. Sedangkan Nurlela duduk di belakang.
“Oya, Cong, materi untuk majalah sekolah kita, edisi bulan ini belum dapat artist of the month-nya. Lu ada ide nggak?” Tanya Ina.
“Wah.. gimana sih, lu?! Baru ditinggal beberapa minggu aja udah keteter. “
“Sebenarnya sih ada 3 kandidat. Tapi gue bingung harus pilih yang mana. Udah gitu susah banget lagi bikin janji ama mereka,” Ina ngasih alasan.
“Siapa aja kandidatnya? Biar kita pilih, ‘ntar gue bantu hubungin dia. Tapi yang wawancarain tetap elu, ya?”
“Iya. Yang pertama Stuart Collin, kedua Fendy Chow, yang ketiga ….” Ina nggak ngelanjutin, dia menunggu reaksi Astrid.
“Yang ketiga siapa?” Astrid melirik Ina.
“Kevin,” jawab Ina malu-malu, kayak anak kecil.
“Hmm, mentang-mentang penggemar berat. Nyebutin namanya aja susah banget,” goda Nurlela. Soalnya, sudah jadi rahasia di genk mereka, kalo Ina nge-fans berat sama Kevin, artis sinetron yang jadi idola remaja.
“Nggak enak aja, ‘ntar sangkanya KKN. Mentang-mentang gue nge-fans, terus maunya ngeliput dia.”
“Okey, biar fair kita undi.” Astrid ngasih usul.
“Setuju,” Nurlela nyamber.
Lalu Astrid menulis tiga nama artis remaja itu, kemudian mereka bakal ngambil salah satu kertas yang digulung sebagai piilihannya.
“Biar fair, gue yang ngambil, ya?” pinta Nurlela.
“Tapi gue yang buka, ya? ‘Kan, yang  ngeliput gue?” Ina juga usul.
Mereka sepakat.
Lalu Ina mengambil salah satu gulungan kertas dari tangan Astrid. Gadis berambut sebahu itu membuka perlahan-lahan kertas yang diambilnya. Lalu membaca nama yang tertulis di kertas itu.
BUZz! Ina memasang wajah cemberut.
“Siapa?” tanya Astrid, “kok bete gitu?”
“Kevin,” jawab Ina lemah.
“Huhhhh! Dasar lu! Pake pura-pura bete lagi!” Nurlela mengacak-ngacak rambut Ina.
Ina berusaha menghindar dari amukan Nurlela. Untunglah pak guru keburu datang, Jadi rambut Ina masih bisa terselamatkan dari kerusakan parah, meskipun tetap…tadi sempat berantakan diacak-acak si Imonk Nurlela.
Baru saja pak Sinambela mengajar, tiba-tiba pintu kelas terbuka. Bruk! Nongol Maya, yang masuk dengan tergesa-gesa.
“Ya, ampun si Oneng kok telat lagi, sih?!” Ina mengomentari sahabat satu genknya itu. BUZz! ‘Onenk’? Iya, teman-teman genknya manggil Maya dengan panggilan sayang ‘Onenk’. Pasti tau ‘kan kenapa? Yapz, karena Maya kelakuannya mirip Onenk, agak lama loading-nya. Ibarat procecor computer, doi masih Celeron, parah!
“Maaf ya, Pak. Tadi abis ujan, jalanannya ‘teh becek, nggak ada ojek, macet deh,” Onenk, yang memang masih suka menggunakan dialeq Sunda, ngasih alasan.
“Yaudah, lain kali jangan telat lagi, ya.”
“Makasih, Pak.”
Maya berjalan ke tempat duduknya dengan wajah sumringah. Sementara temen-temen genknya memasang muka beraneka ragam. Ina tersenyum senang karena Maya nggak dihukum, Nurlela bete karena Maya minggu ini sering telat. Sedangkan Astrid bingung, mikirin masalah Maya yang sebenarnya. Karena biasanya si Onenk ini nggak pernah telat.
*****
 Separuh  jiwa gue  tertinggal        
 “Kalo boleh milih, gue mendingan gak usah wawancara sama Kevin. Nggak tau kenapa, gue kok deg-degan banget, ya? Padahal udah lama gue pengen wawancarain tuh cowok. Tapi kenapa pas sekarang dapat kesempatan, kok ya, gue malah gerogi?” gumam Ina, sambil duduk menunggu di halaman depan rumah yang dijadikan lokasi shooting sinetron, yang peran utamanya Kevin.
            Ina makin gerogi lantaran sudah dua jam nunggu, tapi belum dapat kesempatan juga buat ketemu sama artis yang memiliki tubuh tinggi itu. Yah… tadi sih sempat ketemu sama manager artisnya, tapi tetap aja disuruh nunggu. “Lagi tanggung” katanya. Maklumlah kejar tayang!” Huh! Bete, deeeh!
            Untuk membunuh rasa jenuhnya, Ina mengambil chocolate rum & cherry yang tadi sempat dibelinya di awfully chocolate. Gadis imut-imut itu memakannya, sambil mencoba menghubungi Astrid.
            “Cong, gue bete nih. Masa Kevin belum nemuin gue juga, sih?” Ina mengeluh, sambil mengunyah chocolate rum & cherry.
            “Lho?! Kok lu baru bilang? Biar gue telpon lagi, deh,” jawab Astrid dari ujung handphone.
            “Eh, eh! Jangan! Gak enak, lagi! ‘Ntar sangkanya gue nggak sabar. Lagian……” Ina nggak melanjutkan kata-katanya, matanya tertuju pada sosok cowok yang berdiri di depannya.
            “Lagian apa, Ntang?” tanya Astrid. “Hallo?! Kentang? Lu masih idup ‘kan?” lanjutnya.
            Klik! Ina memutuskan hubungan teleponnya.
            “Dari majalah sekolah, ya?” tanya Kevin, seraya duduk di sebelah Ina.
            “Eh, Iya.“ Ina terpesona melihat kegantengan cowok campuran Jerman-Blitar itu. “Ina.“ lanjut Ina, seraya mengulurkan tangan, ngenalin diri, dipadu sama gaya setengah salting.
            “Kevin.” Cowok ganteng itu membalas uluran tangan Ina.
           
Mereka saling berjabat tangan. Terlihat banget rona bahagia di wajah Ina. Apalagi waktu Kevin mengumbar senyum manisnya. Omigosh! Bikin hati Ina melting, luluh. Sampai Ina nggak sadar handphone-nya berdering. Intro lagu ‘Pandangan Pertama’ versi Slank & Nirina mengiringi perkenalan mereka. 
            Pas Ina sadar, dia baru tahu kalau ringtone-nya berubah. “Huhhh!!! Ini pasti kerjaannya si Imonk Nurlela.. Pantesan tadi dia minjem hp gue.” Ina menahan amarahnya. “Tapi kok syairnya pas juga, ya? Hi hi hi, Ngewakilin perasaan gue,” pikir Ina. Sambil tertawa sendiri dalam hati.
“Pandangan pertama, awal aku berjumpa….” Suara duet Kaka dan Nirina yang menjadi ringtone handphone Ina.
“Ada telepon tuh,” Kevin membuyarkan keterpanaan Ina.
“Eh, hm, biar ajalah. Teman-teman. Biasa, cuma mau kirim salam,”  Ina coba mengendalikan perasaannya. Diam-diam dia menyimak syair lagu yang mewakili isi hatinya itu. Makanya dia membiarkan ringtone handphone-nya terus berdering, sampai mati sendiri.
“Oya, sorry…” Kevin menunjuk bibir Ina, ngasih tahu kalau ada cokelat di bibirnya.
“Ow! Sorry.” Ina buru-buru membersihkan sisa-sisa chocolate di bibirnya, dengan tangannya. Dia nggak sadar waktu makan chocolate tadi, sempat berantakan ke sekitar bibir dan dagunya. Tapi karena Ina ngebersihinnya ngasal plus gerogi, cokelatnya justru semakin berantakan di sekitar bibirnya.
Kevin tertawa kecil. “Boleh aku bantu?” Kevin menawarkan diri. “Sorry, ya.” Tangan Kevin mulai menempel di sekitar bibir Ina.
Hah?! Omigosh! Ina nggak sempat nolak. Dia hanya terpana merasakan jari jemari Kevin yang berputar-putar di sekitar bibir dan dagu Ina, membersihkan cokelat yang masih tersisa.
“Makasih.” Ina memegang tangan Kevin dan menurunkannya dari bibirnya.
Kevin tersenyum manis. “Sorry ya, abis kasihan wajah cantik jadi lucu gara-gara belepotan cokelat.”
Cantik? Klepek….kelepek…klepek… Ina benar-benar merasa tersanjung dengan pujian idolanya itu. “Aku boleh foto-foto dulu?” Ina berusaha menutupi hatinya yang gundah.
“Boleh.”
            Ina mengambil pocket camera digitalnya. Kemudian mengambil gambar dengan berbagai pose.
            “Berdua boleh, ya?”
            Kevin menjawabnya dengan senyum.
            Ina lalu mendekat, dia dag dig dug, waktu Kevin merangkulnya. Ina mengarahkan camera ke arah mereka.
            “Kev, take lagi, yuk,” seseorang memanggil Kevin untuk memulai shooting lagi.
            “Huuu… ganggu aja,” gumam Ina dalam hati. Perasaan baru sebentar deh, masa udah dipanggil lagi.
            “Sorry, aku harus shooting lagi,” Kevin pamit.
            “Oh, iya, nggak apa-apa. Kebetulan udah lengkap kok.,” jawab Ina seenaknya .
            Kevin sempat mengerutkan keningnya (maksudnya, “kan belum wawancara, kok sudah lengkap sih?”).
            “Makasih ya. Bye.” Ina melambaikan tangan.
            “Bye.” Kevin membalas lambaian tangan Ina dengan senyumnya.
            Benar-benar hari yang menyenangkan, bisik hati Ina. Sambil memandangi kepergian Kevin. Separuh jiwa gue tertinggal di sini. Kenangan hari ini nggak mungkin mudah hilang, karena telah terukir  indah di hati gue.

to be continue
 *****

Related

cerpen bergambar 3189023777872655504

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item